PUSPAS UNAIR Mengadakan Kajian Fiqih Bersama Gus Nadir dari Monash University, Australia
Sebagai puncak acara dari program kegiatan Kemilau Ramadhan, pada tanggal 8 Mei 2021, Pusat Pengelolaan Dana Sosial Universitas Airlangga bersama Griya Khadijah PSUPAS UNAIR mengadakan Kajian Ramadhan dengan tema "Meraih Ridho Illahi, Ngaji Fiqih Kontekstual" bersama Gus Nadirsyah Hosen dari Monash University, Australia.
Acara tersebut dimoderatori oleh Bapak Dr. Irham Zaki, S.Ag., M.E.I selaku Koordinator Humas dan ZISWAF PUSPAS UNAIR. Adapun sambutan disampaikan langsung oleh ketua PUSPAS UNAIR, yakni Bapak Dr. Wisudanto, S.E., MM., CFP, ASPM dan dilanjutkan dengan pembacaan ayat suci Al-Qur'an oleh Itsna Munisa yang merupakan mentor mahasiswi Griya Khadijah PUSPAS UNAIR.
Sebelum masuk pada pemahaman Fiqih Kontekstual, Gus Nadir menjelaskan bahwa pemahaman fiqih secara kontekstual saat ini terdapat dua kubu yang terus berbenturan, ada yang memahami agama secara literal dan ada yang memahami secara liberal. Pemahaman agama secara literal berpegang pada dalil atau hadits sehingga terpaku pada teks dan terkadang menafikan konteks. Sedangkan, pemahaman agama secara liberal lebih permisif sehingga terpaku pada konteks dan terkadang menafikan teks.
"Pendekatan fiqih secara kontekstual artinya adalah kita ingin ditengah, antara pemahaman secara literal dan liberal. Terpaku pada teks tetapi juga memahami konteks", paparnya.
Gus Nadir juga menuturkan, "Memahami persoalan fiqih harus dengan lapang dada, apabila terjadi perbedaan pendapat, tidak perlulah kita sampai kafir mengkafirkan, tidak perlulah kita menganggap pendapat kita yang paling benar."
"Janganlah kita menutup diri, belajar dari satu tokoh saja kemudian menafikan tokoh-tokoh yang lain karena kita pernah tidak cocok dengan pendapatnya. Padahal pendapat para tokoh tersebut juga berdasarkan dalil. Kita jangan buru-buru menyalahkan orang-orang yang berbeda pendapat dengan kita. Jadi, syarat untuk belajar fiqih adalah harus lapang dada", imbuhnya.
Hukum islam muncul pada konteks zamannya sehingga kita harus memahami perbedaan-perbedaan yang terjadi. Sebagai contoh, di zaman Nabi Muhammad SAW, masjid Nabawi masih beralaskan tanah, jika tidak memakai sandal, justru kotor. Atap masjidnya juga masih sederhana, bila malam hari hujan, maka besok paginya menjadi becek. Maka, kita harus memahami latar belakangnya, sehingga kita bisa memahami perbedaan-perbedaan. Pengalipkasiannya disesuaikan dengan konteks budaya pada zaman Nabi Muhammad SAW di Madinah ataupun budaya sekarang.
Terkadang kita terlalu mementingkan pendapat masing-masing hingga bertengkar dan melupakan akhlak. Sebagai contoh, saat Nabi Muhammad SAW sedang memulai sholat berjamaah, tiba-tiba tercium bau kentut. Nabi menunggu siapa yang keluar barisan atau jamaah, rupanya tidak ada yang berani keluar jamaah. Kemudian Nabi Muhammad SAW berbalik badan dan bertanya kepada para sahabat, "siapa yang tadi makan daging unta sebelum datang kesini?" kemudian beberapa sahabat menjawab. Lalu, Nabi Muhammad mengajak para sahabat untuk berwudhu kembali. Pesan yang dapat kita ambil adalah Nabi Muhammad SAW memahami kegalauan seorang sahabatnya, tidak ingin mempermalukan sahabat beliau dan menjaga kehormatan sahabat beliau. Itu merupakan ajaran akhlak.
Sebagaimana yang telah dipaparkan oleh Gus Nadir, contoh-contoh praktis bagaimana kita mekontestualkan fiqih, bagaimana kita berada di tengah-tengah antara literal dan liberal itu semua butuh ilmu. Semoga kita tetap semangat untuk menambah ilmu dan memahami perintah serta larangan dari Allah SWT serta anjuran Rasulullah SAW.